Mendaki Gunung GD

Siti Nur Halimah
5 min readMar 17, 2021

13 Maret 2021

Apa yang kalian pikirkan ketika manusia-manusia memilih gunung untuk betapa ataupun menghilangkan penat?

Melepaskan, iya itu niatku mendaki untuk melepaskan. Hm.. melepaskan sesuatu yang aku genggam, melepaskan sesuatu yang aku damba-dambakan. Tadinya akan aku buang semua diatas puncak tertinggi hingga tak menyisa sedikitpun untukku bawa pulang.

Ada banyak hal yang aku pelajari ketika mendaki, seperti lelahnya menjalani hidup. Namun, jika kita sampai di atas puncak kehidupan, maka syukur kita akan semakin dalam.

“Aku adalah pemula yang sangat tidak suka dengan olahraga, jangankan naik gunung jalan kaki ke depan gang rumahpun harus pake motor” ucapku meledek diri sendiri.

Lelah ya pak? ini dua sahabatku, orang yang paling ikhlas direpotkan. Mulai dari dibawakan tas, minta digendong dan lainnya.

Aku pandangi jalan yang semakin atas semakin seram saja tanjakannya. Sore itu hujan membasahi gunung kemudian kita berteduh dekat pepohonan sambil bercanda dan menikmati cokelat hangat. Salah seorang sahabat bercanda ketika ada pendaki lain yang melewat “selamat datang dirumah makan kami". Setiap yang lewat merespon dengan beragam, ada yang hanya tersenyum dan adapula yang jawab, “pak kopinya satu pak” sambil memasang wajah tersenyum.

Jam menunjukan jam 4 sore, kita melanjutkan perjalanan dengan basah-basahan. Badanku sudah terasa tidak baik-baik saja tapi tekadku masih bulat harus sampai puncak karena itu tujuanku. Aku lihat ada seorang ibu yang ditemani dua anaknya, mungkin usianya seusia dengan ibuku. Aku pandang raut wajah anaknya, sepertinya sedikit kesal karena berjalan dengan lambat. Semangatku mulai terbangun lagi, si ibu sekuat dan setekad itu mendaki masa aku tidak ucapku dalam hati. Dengan memikirkan puncak-puncak meski baju sudah basah sampai dalam-dalam semangatku tidak pudar.

Pada akhirnya diposko 3

Hari semakin gelap, aku yang memaksa sugesti tetap baik-baik saja tapi, terlalu ditakar hingga pada akhirnya berputar balik menjadi sugesti yang menakutkan. Suara adzan dari kejauhan sudah terdengar, dua sahabatku sudah sampai diposko 4 sedangkan aku masih dalam perjalanan, badanku sudah tidak bisa aku ajak berkompromi. Sesekali ku pandang sahabatku yang tampak sangat khawatir dengan kondisiku yang sudah tidak bisa diajak bicara. pikirku “Ada Alfamart ya.. ada ditengah hutan ada Alfamart yang harga bala-bala Rp. 2000 an harga kopi Rp. 8000 an harga air mineral Rp. 15.000 an mahal sekali bukan?” dengan kondisi seperti itu aku sempat saja menghitung keuntungan tukang dagang yang ku takar 6 bulan jualan seperti ini bisa menjadi orang kaya dadakan.

Setelah minum kopi dan makan bala-bala badanku sedikit menghangat akhirnya kita melanjutkan perjalanan, baru saja 10 langkah ketika aku melirik sebelah kanan aku melihat hutan yang begitu luas, ku lirik sebelah kiri sama hutan. Semua hutan aku sudah tidak bisa mengendalikan pikiranku, bahkan badanku menggigil kedinginan. Rasanya aku ingin memeluk manusia siapapun itu untuk sedikit menghangatkan tubuhku. Tapi, aku masih sadar.

Sahabatku terlihat panik karena melihat kondisiku yang sudah parah, dia memberiku air hangat, dia memberiku jaket bahkan dia memberiku semangat bahwa aku bisa sampai puncak. Aku tidak tegak bahkan aku kasihan melihat dia kerepotan, membawa 2 tas yang berat dan harus membawa aku yang lemah. Sesekali pendaki lain yang melewat bertanya kondisiku, dia langsung bergegas menjawab bahwa temannya sedang hipo. Tidak ku sangka ada orang-orang baik yang memberi bantuan.

Tanganku membeku bahkan setiap tarikan nafas terasa dingin hingga kedalaman isi kepala. Perutku sudah terasa dingin dan beberapa kali keram. Aku sudah tidak bisa melakukan apa-apa kecuali berusaha mengingat bahwa aku ada di hutan belantara tapi tidak sendirian, bahwa aku harus bisa sampai diposko 4 untuk bertemu dengan sahabat-sahabat yang lain.

Sahabatku menggandengku hingga sampai posko 4, ku lirik lagi wajahnya dia masih memasang wajah panik, yah.. bagaimana tidak panik, aku anak manusia yang pulang harus selamat dan baik-baik saja.

Diposko 4 hawa dingin semakin keterlaluan awan gelap yang membawa pikiran menjadi tak tenang. Aku hangatkan tubuhku berbaring dan menetap sekitarku. Allah beriku pelajaran atas banyak hal bahwa segala sesuatu harus dipertimbangkan dan dipersiapkan sebelum tempur menghadapi jalan menuju tujuan.

Akhirnya kita semua berjumpa dan memutuskan istirahat saja, aku baringkan tubuhku sebelahan dengan sahabatku yang memiliki halis lebih tebal bibir lebih tebal bahkan gaya bicara lebih kaya orang tua.

Karakternya seperti gunung dan hobinyaa membaca, sedikit menyebalkan. Jika adu argumentasi tak mau kalah, yah.. uniklah dia, aku tatap dalam-dalam wajahnya dan ku do’akan semoga ia selalu Allah beri kemudahan dalam menjalankan hidupnya.

Diposko 4 semuanya berubah, aku tidak akan pernah bisa melupakan satu incipun. Disinilah aku mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang aku pendam.

Suara kayu bergesekan terdengar ganas seperti suara anjing, burung-burung bercumbu ria. Angin-angin menyentuh setiap pori-pori. Pagi ini matahari terlihat begitu cerah dan senyuman manusia-manusia yang begitu hangat memberi sedikit kebersyukuran. Puncak tak bisa aku gapai sampai sinilah perjalananku posko 4. Tujuanku melepaskan semua hal diatas puncak sanah menjadi abu-abu dan tak tercapai. Namun, aku sudah menemukan jawabannya.

Tersadar disadarkan oleh keadaan bahwa sesungguhnya sehebat apapun melepaskan tidak akan pernah bisa dilepaskan, sehebat apapun dipaksakan untuk ikhlas maka jawabannya akan semakin tidak pernah bisa.

Jawabannya demikian, begitu mudah berdamai dengan keadaan tanpa memaksakan apapun dan biar berjalan begitu saja. Layaknya berdamai dengan gunung sedingin apapun gunung semenyeramkan apapun gunung jika kita mampu berdamai dengan ia, maka kita akan tetap baik-baik saja.

Iya, berdamai itulah yang harus dilakukan. Bukan melepaskan yang pada akhirnya tidak akan pernah bisa aku lepaskan. Waktu akan mengubur dan memberi tahu bahwa semuanya akan usai.

Aku melihat karakter orang lain dalam mendaki, semuanya nampak jelas tak transparan. Mungkin itu gambaran bahwa dalam keadaan sulit tidak semua orang bisa membantu dan memahami.

Tuhan yang memberikan segalanya, kita yang harus berjalan dan ikhlas menerima pemberiannya.

Sukabumi, Maret 2021.

--

--

Siti Nur Halimah

Menulis adalah sandaran bahagia dan duka. Isi kepalaku riuh jika tak diurai.