Siti Nur Halimah
3 min readSep 10, 2022

Pesawat Terbang

Sukabumi, 10 September 2022

“pesawat minta duit"

“pesawat minta uang.. pesawat minta uang sekarung."

Begitulah, ucapanku dulu kalau ada pesawat terbang yang melintas dibawah langit.

Aku tak tahu tradisi ini dilahirkan oleh siapa dan diajarkan oleh siapa, bahkan aku sendiri tak sadar dan tak ingat siapa yang mengajarkan kepadaku. Namanya juga anak-anak pasti tuturut munding bahasa jadulnamah, hha.

Aku terdiam diatas teras sambil memandangi langit dan memperhatikan pesawat yang lewat. Berpikir keras apakah suaraku terdengar oleh pilot? Apakah didalam pesawat memang ada uang karungan? Dan apakah memang benar pesawat itu sering memberi uang ketika kita berteriak “pesawat menta duit?”

Ah, aku hari ini masih mengingat pikiranku yang dulu kala, otaknya masih minim dan belum terkontaminasi oleh hal negatif macam hari ini.

Dari sisa-sisa perasaanku saat itu, yang ingin sekali aku rasakan adalah “bagaimana rasanya naik pesawat, bagaimana rasanya bisa melihat awan dari atas.”

Rasa penasarannya tidak hilang sampai aku besar. Keinginan waktu itu sederhana sekali dan malah beranak menjadi ingin pula ke Negeri Jiran Malaysia.

Anak polos yang memiliki keinginan berusaha keras dengan kayakinan full tank yah kalau tiba-tiba keinginannya ngdrop tinggal isi ulang ke pom bensin hahaha..

Dari musim panas ke musim hujan, dari lebaran idul Fitri sampai lebaran idul adha, dari lulus SD sampai lulus SMA, dari minta duit sampai bisa ngasih duit. Keinginan sederhana itu masih di do’akan sampai ditunggu endingnya.

Sampai-sampai gambar pesawat dan gambar Negeri Jiran Malaysia aku cetak alias diprint menggunakan kertas A4. Setiap selsai shalat aku pandang gambarnya dalam-dalam. Yah, dapet pengetahuan darimana sih, kok bisa-bisanya di print terus di shalawattin tuh gambar?

Uji, coba sih niatnya.

Dari Wirda Mansyur, taukan siapa dia? Whaha, yah aku ikutin dulu cara dia. Barang kali kan golsss tuh, mantap.

Masih ingat,

2019 bulan Januari. Tiba-tiba bosku nyuruh datang ke imigrasi untuk ngurus-ngurus paspor. Walah, aku bingung denger narasi ngurus paspor doang tanpa ada kelanjutan. Akhirnya aku tanya bosku, “pak maksudnya gimana?” Bosku jawablah “bapak, mau ngajak kamu ke Malaysia. Sekalian ada kerjaan ke UMM (Universitas Muhammadiyah Malaysia).”

Tiba-tiba angin segar menerpa wajahku, waduh ini angin surga atau mimpi. Aku cubit tanganku sekencang mungkin, waduh-waduh ini nyata.

Dengan perasaan bahagia aku cium gambar pesawat dan gambar Negeri Jiran Malaysia.

Wah, akhirnya aku bisa ke tempat upin-ipin dan memastikan rasanya naik pesawat seperti apa.

Ketika kaki melangkah ke pintu pesawat, rasa penasaran itu seakan memberontak untuk meminta keluar dari hatiku. Setalah aku duduk di kursi pesawat, mataku berbinar-binar senang, dan setalah pesawat mulai melaju hormon bahagia dalam tubuhku berhamburan keluar.

Rupanya, awan-awan yang aku pandangi mereka sangat ramah. Bahkan imajinasiku membuat seluruh awan tersenyum. Aish, dasar aku si udik.

Eh, ternyata ada taenaknya berada didalam pesawat, perasaan takut tiba-tiba hadir. “Bagaimana kalau misalkan pesawatnya terjatuh?” Belum lagi getaran pesawat yang melewati gumpalan awan membuat kepala kita pusing.

Setelah perjalanan selsai, aku menyadari satu hal yang sangat dominan. Perasaan-perasaan yang diinginkan dengan waktu tahunan itu kini telah menjadi perasaan sederhana dan biasa saja.

Kepuasannya hanya sementara, yang seutuhnya adalah perasaan mengingat yang tak sementara. Sebanyak apapun yang aku inginkan di alam dunia ini, sebanyak apapun yang aku takutkan di alam dunia ini. Lagi-lagi otak dan perasaan ini hanya mendorong mengingiat sang pencipta.

Memang tanpanya aku hanya bagian-bagian kecil yang ketakutan dan hidup tanpa ketenangan.

Benar adanya keinginan akan terasa biasa jika kita mendapatkan, kekecewaan akan menjadi biasa ketika kita ikhlaskan. Nikmati saja, tak melulu apa yang kita dapatkan bisa berujung membahagiakan.

Aku menuliskan ini, untuk mengingatkan diriku kembali, bahwa aku manusia yang selalu menginginkan, Allah SWT yang memutuskan. Semoga, kelak hari-hariku, dan harapan serta cita mimpi itu tidak menjadikan aku tergila-gila ambisi dan menghilangkan nilai-nilai norma sebagai manusia.

Siti Nur Halimah, S.Pd

Siti Nur Halimah
Siti Nur Halimah

Written by Siti Nur Halimah

Menulis adalah sandaran bahagia dan duka. Isi kepalaku riuh jika tak diurai.